MALE INSPIRE.id – Penyakit kardiovaskular atau juga disebut penyakit jantung, masih menjadi momok menakutkan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Penyakit ini tidak hanya menyerang orang berusia lanjut, tapi juga bisa mengintai anak muda.
Apa yang lebih mengkhawatirkan, ternyata orang miskin atau yang berpenghasilan rendah memiliki risiko lebih tinggi terkena penyakit jantung.
Baca juga: Banyak Tidur di Akhir Pekan Baik untuk Kesehatan Jantung, Kata Peneliti
Hal itu terungkap dalam studi yang diterbitkan di jurnal JAMA Network pada 2020 lalu.
Studi tersebut menganalisis data dari Survei Pemeriksaan Kesehatan dan Gizi Nasional AS dari tahun 1999 hingga 2016.
Juga, ditemukan bahwa kelompok dengan kekayaan tertinggi memiliki prevalensi penyakit jantung yang jauh lebih rendah dibandingkan kelompok lainnya.
Perbedaan ini paling mencolok terlihat pada penyakit stroke dan gagal jantung kongestif.
Bahkan, pada kelompok kaya, terlihat penurunan prevalensi untuk semua jenis penyakit jantung yang diteliti (angina, serangan jantung, gagal jantung kongestif, dan stroke).
Apa kaitan antara penghasilan rendah dan peningkatan risiko penyakit jantung?
Stres psikologis akibat penghasilan rendah
Studi yang diterbitkan pada 2024 dalam jurnal JACC Advances menyimpulkan bahwa kemiskinan berperan besar dalam meningkatkan risiko penyakit jantung.
Faktor ekonomi yang rendah menyebabkan stres psikologis, kurangnya akses ke makanan sehat, kurangnya fasilitas olahraga, dan keterbatasan akses ke layanan kesehatan.
Baca juga: Kasus Serangan Jantung Meningkat pada Kaum Muda, Apa Sebabnya?
Kondisi ini diperparah oleh faktor lingkungan seperti polusi udara dan kebisingan yang lebih tinggi, terutama di kawasan permukiman padat penduduk.
Selain itu, banyak orang berpenghasilan rendah terjebak dalam “food desert” –wilayah yang kekurangan akses ke makanan sehat– sehingga beralih ke makanan cepat saji tinggi lemak, garam, dan gula.
Kemiskinan memicu gaya hidup buruk
Studi lain menunjukkan adanya faktor tambahan, yakni kemiskinan membuat orang menerapkan gaya hidup buruk.
Sebuah riset yang dimuat dalam jurnal PLOS Medicine tahun 2024 menganalisis data dari Survei Wawancara Kesehatan Nasional Amerika Serikat dari tahun 1997-2018.
Para peneliti menemukan, orang dengan pendidikan dan penghasilan rendah mempunyai gaya hidup yang buruk.
Diketahui, faktor perilaku seperti merokok, jarang beraktivitas fisik, mengonsumsi alkohol, dan indeks massa tubuh (BMI) tinggi memicu peningkatan risiko penyakit jantung.
Baca juga: PERKI dan YJI Ajak Masyarakat Ambil Peran dalam Pencegahan Penyakit Jantung
Sulit mengakses layanan kesehatan
Studi yang dimuat pada 2018 dalam jurnal Cirlculation menunjukkan, penghasilan rendah menjadi faktor besar bagi penyakit jantung karena menyebabkan sulitnya akses pada layanan kesehatan yang tepat.
Jika orang berpenghasilan rendah dapat mengakses layanan kesehatan sekalipun, hasil dari pengobatan yang diberikan kurang optimal.
Selain itu, mereka cendering kurang mendapatkan informasi kesehatan yang tepat sehingga memiliki gaya hidup kurang sehat.
Hal ini juga sejalan dengan studi lain yang diterbitkan tahun 2009 dalam jurnal Current Cardiology Reviews.
Riset yang mengamati para tunawisma di AS menemukan bahwa para tunawisma lebih sering mengunjungi unit gawat darurat karena tidak memiliki akses ke klinik layanan primer (serupa puskesmas di Indonesia).
Ini menyebabkan penanganan penyakit kardiovaskular sering kali terlambat. Jika sempat mendapat perawatan pun, kondisi penyakit biasanya sudah parah.