Hari Pahlawan: Peristiwa 10 November 1945, Bukti Kegigihan Arek-arek Surabaya Melawan Penjajah

MALE INSPIRE.id – Pertempuran Surabaya pada 10 November 1945 menjadi latar belakang peringatan Hari Pahlawan.

Tahun ini, Hari Pahlawan diperingati pada Minggu (10/11/2024).

Meski sudah merdeka sejak 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia belum sepenuhnya terbebas dari upaya penjajah untuk menguasai Indonesia.

Baca juga: 5 Hal Unik yang Cuma Ada di Surabaya

Sebab, masih terjadi pertempuran melawan penjajah di berbagai daerah, salah satunya di Surabaya, Jawa Timur.

Peringatan Hari Pahlawan ditetapkan melalui surat Keputusan Presiden Nomor 316 Tahun 1959 tertanggal 16 Desember 1959.

Dilansir dari berbagai sumber, berikut kronologi peristiwa 10 November 1945 yang terjadi di Surabaya, Jawa Timur.

Kronologi peristiwa 10 November 1945 di Surabaya

Pertempuran Surabaya berawal dari Jepang yang kalah Perang Dunia II dan menyerah tanpa syarat kepada sekutu (Inggris dan Belanda) pada 15 Agustus 1945.

Pada 2 September 1945, Perang Dunia II resmi berakhir dengan kekalahan Blok Poros dan kemenangan Blok Sekutu.

Hal itu membuat Jepang harus melepaskan kekuasaannya di Indonesia. Sebelum meninggalkan Indonesia, Jepang diwajibkan menyerahkan seluruh senjatanya.

Kemudian, di tanggal 3 Oktober 1945, Jepang menyerahkan senjata-senjata itu kepada rakyat Indonesia yang nantinya akan diberikan kepada sekutu.

Setelah itu, kapal perang sekutu, Eliza Thompson berlabuh di Surabaya pada 25 Oktober 1945.

Kapal itu membawa pasukan yang dipimpin Brigadir Jenderal Aubertin Walter Sothern Mallaby dan diduga mengangkut Netherlands Indies Civil Administration (NICA).

Mereka bertugas untuk melucuti senjata para prajurit Jepang, mengangkut tawanan perang, dan menjaga ketertiban di Surabaya.

Pasukan sekutu menduduki area vital di Surabaya

Pihak sekutu yang didominasi oleh pasukan Inggris faktanya tidak melakukan tugas sesuai yang mereka janjikan.

Pada 27 Oktober 1945, pasukan sekutu menyerbu penjara untuk membebaskan para perwira mereka yang ditahan Indonesia.

Baca juga: Royal Enfield Buka Gerai Eksklusif di Surabaya

Mereka juga menduduki area vital, seperti lapangan terbang, kantor pos, radio, gedung internatio, pusat kereta api, dan pusat otomobil dengan maksud menduduki Surabaya.

Tanpa sepengetahuan Mallaby, Angkatan Udara Inggris menjatuhkan selebaran di atas Surabaya yang ditandatangani Mayor Jenderal Douglas Cyril Hawthorn.

Selebaran itu berisi perintah kepada rakyat Surabaya dan sekitarnya untuk menyerahkan kembali semua senjata, serta peralatan perang Jepang dalam waktu 48 jam.

Jika tidak mematuhi perintah Inggris tersebut, warga Surabaya akan mendapatkan hukuman berat.

Hal itu memicu kegeraman dari warga Surabaya, khususnya arek-arek (para pemuda) yang menganggap perintah tersebut sebagai hinaan bagi bangsa Indonesia yang telah merdeka.

Surabaya melawan

Atas persetujuan pemerintah, di bawah Komandan Divisi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Mayor Jenderal Yono Sewoyo, muncul perintah perang untuk menghadapi tentara sekutu.

Sore hari di tanggal 28 Oktober 1945, sekitar 140.000 pasukan yang berasal dari prajurit TKR dan kelompok pemuda bersenjata bersatu di bawah komando Mustopo untuk menyerang kamp Belanda dan sekutu.

Malam harinya, melalui siaran radio, Presiden Sukarno mengobarkan semangat kepada semua lapisan masyarakat agar bersatu dan merebut kembali tempat-tempat penting yang diduduki tentara sekutu.

Semangat perlawanan pun terbentuk di benak masyarakat yang ada di penjuru Surabaya.

Keesokan harinya, pada 29 Oktober 1945, para pemuda berhasil menguasai kembali objek vital yang sebelumnya diduduki sekutu.

Gencatan senjata dilanggar tentara sekutu

Mengetahui terjadi serangan di Surabaya, Mayjen Hawthorn meminta Bung Karno menyerukan penghentian perlawanan antara pemuda Surabaya dan Sekutu.

Hal ini dilakukan demi melindungi pasukannya dari amarah masyarakat Surabaya.

Permintaan pun dipenuhi. Kontak senjata dihentikan, komite penghubung dua pihak dibentuk, dan sekutu mau mengakui kedaulatan.

Namun, tak lama setelah itu, tentara sekutu justru melakukan penyerangan di kampung penduduk.

Hal itu menyulut kembali kemarahan rakyat. Perang antara masyarakat Surabaya dan tentara Inggris di Surabaya tak terelakkan.

Puncaknya, pertempuran itu menewaskan Brigjen Mallaby pada 30 Oktober 1945.

Sekutu ancam serang Surabaya

Sekutu pun kembali mendatangkan pasukan baru setelah kematian Mallaby. Kali ini, mereka di bawah pimpinan Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh.

Pada 8 November 1945, sekutu mengirimkan surat kepada Gubernur Soeryo yang berisi ancaman serius untuk menggempur seluruh Surabaya.

Soeryo pun membalas surat itu pada keesokan harinya, tetapi tidak sampai ke tangan sekutu.

Hal itu membuat sekutu mengeluarkan ultimatum yang berisi perintah kepada masyarakat Surabaya untuk meletakkan bendera Merah Putih di atas tanah.

Ultimatum tersebut juga berisi perintah kepada para pemuda yang harus menghadap kepada sekutu dengan mengangkat tangan alias menyerahkan diri.

Baca juga: Rawon dan Soto Betawi jadi Sup Paling Enak di Dunia, Kalahkan Ramen

Para pemuda juga harus bersedia menandatangani surat pernyataan menyerah tanpa syarat.

Mansergh menginstruksikan agar semua perempuan dan anak-anak meninggalkan Surabaya sebelum pukul 19.00 WIB.

Bagi warga yang masih membawa senjata setelah tanggal 10 November 1945 pukul 06.00 WIB, mereka akan diancam hukuman mati.

Peristiwa 10 November 1945 pecah, korban berjatuhan

Arek-arek Suroboyo lalu membulatkan tekad untuk menolak ultimatum. Hal itu disampaikan Gubernur Soeryo melalui siaran radio pada 9 November 1945 pukul 23.00 WIB.

Pertempuran besar antara masyarakat Surabaya dengan sekutu pun pecah keesokan harinya pada 10 November 1945.

Sejak pagi hari, Inggris sudah melakukan penyerangan. Namun, pemuda Surabaya sama sekali tidak gentar atas serangan yang dilakukan.

Kala itu, para pemuda berbekal bambu runcing dan sejumlah senjata melawan sekutu.

Pertempuran itu berlangsung lebih dari dua minggu dan berakhir pada 28 November 1945.

Dampaknya, sekitar 20.000 rakyat Surabaya menjadi korban, dengan sebagian besar adalah warga sipil.

Selain itu, diperkirakan 150.000 orang terpaksa meninggalkan Surabaya dan sekitar 1.600 prajurit Inggris tewas, hilang, dan luka-luka.

Penetapan Hari Pahlawan setiap tanggal 10 November menjadi bentuk penghargaan atas jasa dan pengorbanan para pahlawan dan arek-arek di Surabaya yang berjuang mempertahankan kemerdekaan.

Kegigihan para pahlawan dalam pertempuran 10 November itu pula yang membuat Presiden Sukarno menyematkan gelar “Kota Pahlawan” untuk Surabaya pada 10 November 1950, lima tahun setelah peristiwa tersebut.