Hustle Culture, ini Dampaknya bagi Kesehatan Fisik dan Mental

MALEINSPIRE.id – Bekerja keras tentu merupakan hal yang baik. Namun, bila dilakukan tanpa mengenal batas dan mengabaikan waktu istirahat, justru dapat menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan.

Fenomena ini dikenal dengan istilah hustle culture, sebuah gaya hidup yang menjadikan kerja berlebihan sebagai standar sosial.

Dalam praktiknya, hustle culture kerap mengaitkan nilai diri dan status sosial dengan banyaknya pekerjaan yang dilakukan. Akibatnya, kehidupan pribadi sering terabaikan, sementara tubuh dan pikiran perlahan menanggung beban yang serius.

Apa itu hustle culture?

Hustle culture menggambarkan gaya hidup kerja yang menekankan produktivitas tinggi, kerja tanpa henti, serta pengorbanan waktu pribadi demi kesuksesan.

Seseorang dianggap berhasil jika ia selalu sibuk, bahkan hampir seluruh waktunya dihabiskan untuk bekerja.

Fenomena ini semakin populer di era digital melalui media sosial, dengan tren motivasi kerja, entrepreneurship, hingga gaya hidup “grind”.

Meski mendorong semangat kerja keras, hustle culture sering kali membuat individu mengabaikan kesehatan fisik, mental, dan keseimbangan hidup.

Singkatnya, budaya ini mendorong orang untuk selalu aktif mengejar target, namun berisiko tinggi menimbulkan burnout bila tidak diimbangi dengan istirahat dan perawatan diri.

Dampak pada kesehatan fisik

Sebuah studi pada 2018 yang dipublikasikan di Current Cardiology Reports menemukan bahwa individu yang bekerja lebih dari 50 jam per minggu memiliki risiko lebih tinggi mengalami penyakit kardiovaskular dan serebrovaskular, termasuk serangan jantung dan penyakit jantung koroner.

Jam kerja panjang terbukti meningkatkan tekanan darah dan detak jantung akibat stres berkepanjangan. Hal ini juga dapat memicu resistensi insulin, aritmia, hingga stroke.

Risiko semakin tinggi pada mereka yang bekerja lebih dari 55–60 jam per minggu.

Di Jepang, misalnya, pekerja dengan jam kerja ekstrem (80–99 jam per minggu) tercatat memiliki risiko depresi lebih besar, disertai kebiasaan tidak sehat seperti merokok, konsumsi alkohol berlebihan, dan kurangnya aktivitas fisik.

Dampak pada kesehatan mental

Hustle culture juga memberikan tekanan berat pada kesehatan mental.

Paksaan untuk selalu produktif memicu stres kronis yang dapat berujung pada kecemasan, depresi, hingga pikiran untuk mengakhiri hidup.

Pola pikir “go hard or go home” membuat tubuh berada dalam kondisi fight or flight terus-menerus.

Hormon stres (kortisol) pun dilepaskan dalam jumlah tinggi dalam jangka waktu panjang. Tanpa istirahat yang memadai, tubuh tidak memiliki kesempatan untuk menormalkan kadar kortisol, sehingga memicu kelelahan mental serius.

Pentingnya keseimbangan hidup

Setelah memahami risiko fisik dan mental dari hustle culture, jelas bahwa produktivitas perlu dijalani secara bijak. Kesuksesan bukan hanya soal bekerja keras, tetapi juga menjaga kesejahteraan diri.

Luangkan waktu untuk istirahat, berikan ruang untuk diri sendiri, dan upayakan hidup yang lebih seimbang. Dengan begitu, tubuh dan pikiran dapat tetap sehat untuk mendukung produktivitas jangka panjang.