Kendalikan Obesitas dengan Hindari Emotional Eating

MALEINSPIRE.id – Obesitas menjadi salah satu kondisi yang memicu berbagai masalah kesehatan. Akan tetapi, bukan berarti kondisi ini tidak bisa dikendalikan.

Menurut Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, obesitas atau penumpukan lemak bisa menimbulkan risiko seperti diabetes, penyakit jantung iskemik, dan kanker.

Kemenkes menjelaskan bahwa salah satu perilaku yang meningkatkan risiko obesitas adalah pola emosi makan yang tidak terkendali.

Emosi makan umumnya dikenal dengan emotional eating disorder dan pelakunya disebut emotional eater.

Berdasarkan studi yang terbit tahun 2021 dalam jurnal BMC Public Health, kondisi ini menunjukkan perilaku makan banyak untuk menyalurkan emosi positif maupun negatif.

Ketika mengalami emotional eating disorder, seseorang akan makan saat terlalu senang, bersemangat, mau pun sedih, marah, atau kecewa dan bukan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi.

Mengatur pola emosi saat makan bisa mengurangi risiko obesitas.

Menurut Kemenkes, emosi makan ini muncul ketika seseorang menjadikan makan sebagai pelarian dari rasa marah, stres, bosan, hingga sedih.

Cara mencegah emotional eating

Berdasarkan laman resmi Kemenkes, ada beberapa cara untuk menekan perilaku makan berdasarkan emosi yakni sebagai berikut:

1. Mengenali pola makan diri sendiri

Penting untuk mengenali situasi ini dalam kehidupan sehari-hari. Perilaku ini dapat dikenali ketika kita makan banyak saat dilanda emosi negatif seperti marah atau stres.

2. Hindari makan berlebihan karena terpicu emosi

Setelah mengenali kecenderungan makan karena gejolak emosional, cobalah mengendalikan diri dengan tidak menjadikan makanan sebagai pelarian.

Sebagai gantinya, kita bisa melakukan aktivitas fisik ringan seperti berjalan-jalan. Atau jika membutuhkan dukungan emosional, cobalah membicarakannya dengan orang-orang terdekat.

3. Makan hanya saat lapar

Kurangi makan hanya karena tergoda iklan atau mencium aroma yang menggiurkan. Kenali bahwa keinginan makan juga muncul walau rasa lapar belum menyerang.

Dalam hal makan hanya saat lapar ini, cobalah mengenali apakah tubuh sudah membutuhkan makanan atau sekadar dorongan emosional semata.

Selain obesitas, perilaku makan untuk melampiaskan emosi juga mempunyai risiko psikis lebih lanjut.

Risiko makan menuruti dorongan emosi

Makan secara emosional adalah kebiasaan makan untuk mengatasi gejolak emosi alih-alih memenuhi kebutuhan fisik. Pelakunya kerap dijuluki sebagai emotional eater.

“Ini adalah tanda awas yang serius, karena perilaku makan emosional bisa meningkatkan risiko stres dan mengganggu potensi asupan gizi seimbang hingga memicu gangguan kesehatan mental.”

Hal itu disampaikan Pendiri dan Ketua Tim Peneliti Health Collaborative Center (HCC) dr Ray Wagiu Basrowi, MKK, FRSPH.

Dalam studi HCC bertajuk Mindful Eating Study, 5 dari 10 orang Indonesia mempunyai kecenderungan menjadi emotional eater.

Studi ini mengambil sampel 1.158 responden dari 20 provinsi di Indonesia. Dari angka tersebut, 57 persen menunjukkan perilaku makan karena dorongan emosi.

Meskipun jumlah emotional eater sama banyaknya dengan yang memiliki perilaku makan baik (mindful eater), studi menunjukkan bahwa gaya hidup ini berisiko terhadap stres hingga penurunan daya tahan tubuh.

“Perilaku makan emosional memberi dampak buruk yang beragam, mulai dari potensi gangguan kejiwaan, asupan gizi tidak memadai, turunnya daya tahan tubuh, dan kemudian kondisi ini memperparah perilaku makan emosional itu sendiri,” kata Ray.