MALEINSPIRE.id – Dalam berbagai narasi budaya, perselingkuhan hampir selalu diidentikkan dengan pengkhianatan, kebohongan, dan kegagalan moral yang fatal. Namun, pelaku perselingkuhan sering kali tidak merasa menyesal.
Realitas psikologis sering kali menunjukkan fenomena yang kontradiktif. Tidak semua pelaku perselingkuhan memandang diri mereka sebagai sosok yang buruk.
Bahkan, banyak di antaranya yang tidak merasakan penyesalan mendalam setelah melakukannya.
Kondisi ini memicu pertanyaan mendasar: Bagaimana seseorang bisa tetap menjalani hidup dengan tenang setelah melanggar komitmen?
Studi menunjukkan bahwa hal ini berkaitan erat dengan mekanisme pertahanan otak dalam menjaga stabilitas emosional.
Disonansi kognitif: upaya pelaku perselingkuhan menjaga citra diri

Secara fundamental, setiap manusia memiliki kebutuhan untuk memandang dirinya sebagai pribadi yang baik, rasional, dan bermoral.
Masalah muncul ketika tindakan seseorang bertentangan dengan nilai-nilai yang ia yakini.
Benturan antara “nilai kesetiaan” dan “fakta perselingkuhan” menciptakan ketegangan psikologis yang dalam ilmu psikologi disebut sebagai disonansi kognitif (cognitive dissonance).
Untuk meredakan ketegangan ini dan menghindari krisis identitas, otak secara otomatis mencari jalan keluar agar harga diri tetap utuh.
Alih-alih menghapus peristiwa yang terjadi, pelaku perselingkuhan cenderung mengubah cara mereka memaknai pengalaman tersebut.
Membingkai ulang kesalahan menjadi “pengalaman hidup”
Banyak pelaku tidak menyangkal fakta perselingkuhan mereka, namun mereka melakukan proses “pembingkaian ulang” (reframing).
Perselingkuhan tidak lagi dipandang sebagai kesalahan mutlak, melainkan sebagai:
-
Sarana Eksplorasi Diri: Cara untuk mengenali kebutuhan emosional yang selama ini terpendam.
-
Titik Balik Hubungan: Pelajaran untuk memahami dinamika hubungan utama yang sedang dijalani.
-
Mekanisme Perlindungan Emosional: Respon atas rasa pengabaian atau rasa tidak diinginkan dalam hubungan primer.
Dengan narasi ini, pelaku perselingkuhan tetap dapat mempertahankan harga dirinya dengan berkata, “Tindakanku mungkin keliru, tetapi aku bukan orang yang sepenuhnya buruk.”
Tidak menyesal bukan berarti akan mengulangi perselingkuhan
Salah satu temuan menarik dalam psikologi perselingkuhan adalah bahwa ketiadaan rasa sesal tidak selalu berkorelasi dengan keinginan untuk mengulangi perbuatan tersebut.
Penyesalan dan keputusan perilaku adalah dua hal yang berbeda.
Banyak individu memilih untuk tidak mengulangi perselingkuhan karena pertimbangan risiko jangka panjang atau perubahan prioritas hidup, meskipun mereka telah berhasil menyerap pengalaman masa lalu ke dalam identitas diri tanpa merasa hancur.
Menganggap perselingkuhan sebagai “pelajaran hidup” adalah strategi efektif untuk mengubah rasa malu menjadi refleksi yang membantu keseimbangan mental.
Memahami mekanisme ini bukan bertujuan untuk membenarkan tindakan perselingkuhan, melainkan untuk memberikan perspektif bahwa perilaku manusia sering kali didorong oleh upaya mempertahankan kesehatan mental, meskipun dengan cara yang keliru.
Ketika citra diri terasa lebih terancam daripada nilai moral, otak akan memilih mekanisme pertahanan yang paling memungkinkan individu tersebut untuk tetap merasa “utuh.”
Dalam konteks hubungan, pemahaman ini menjelaskan mengapa pemulihan pasca-perselingkuhan memerlukan komunikasi yang jauh lebih dalam daripada sekadar permintaan maaf, karena menyangkut bagaimana masing-masing individu memaknai kesetiaan dan identitas diri mereka.