Ayah Sebaiknya Tidak Mendidik Anak Laki-laki untuk ‘Man Up’, Kenapa?

MALEINSPIRE.id – Ungkapan “boys will be boys” sudah lama digunakan untuk membenarkan perilaku anak laki-laki —entah itu mengacaukan sesuatu, membuat keributan, atau melontarkan lelucon yang liar.

Namun, di balik semua kekonyolan dan keberanian, anak laki-laki juga menyimpan emosi yang dalam, kebutuhan akan makna, dan keinginan untuk dicintai.

Rosalind Wiseman, penulis buku Queen Bees And Wannabes dan Masterminds And Wingmen, menyatakan bahwa anak laki-laki bisa menjadi pribadi yang hangat, sensitif, dan penuh kasih, namun tetap tangguh.

Wiseman melihat adanya perubahan sosial dalam cara kita memandang masa kecil laki-laki.

Jika dulu empati dianggap sebagai kelemahan, kini banyak orangtua mulai memahami bahwa menunjukkan perasaan adalah bagian penting dari tumbuh kembang anak laki-laki.

Masa kecil kita bukan acuan ideal

Banyak pria masa kini dibesarkan dalam budaya man up, di mana nasihat seperti “anak laki-laki tidak boleh menangis” atau harus “tabah dan kuat” seringkali terlontar.

Wiseman mengaku sering menerima pesan dari pria dewasa dengan berbagai latar belakang, seperti anggota militer, supir truk, atau bankir.

Mereka mendambakan hubungan yang lebih baik dengan anak mereka dibandingkan hubungan mereka dengan orangtua dulu.

Mereka ingin agar putra mereka bisa tumbuh tanpa tekanan menjadi “laki-laki sejati” yang keras dan tertutup secara emosional.

Hindari nasihat klise

Frasa seperti “laki-laki jangan cengeng” atau “jangan merepotkan orang lain” terlalu sering digunakan sebagai panduan perilaku bagi anak laki-laki.

Menurut Wiseman, nasihat semacam itu tidak tepat. Anak membutuhkan contoh nyata dan diskusi terbuka.

“Kita harus lebih dari sekadar memberi petuah. Tanyakan pada anak, ‘Menurutmu, hal itu artinya apa dalam situasimu?’” katanya.

Jangan menyalahkan teknologi

Anak laki-laki kita hidup dalam dunia yang dipenuhi media sosial, gim, dan tekanan akademis. Namun, itu bukan alasan untuk mundur dari peran sebagai seorang ayah.

Wiseman menyarankan untuk memanfaatkan momen sehari-hari sebagai titik awal percakapan —bukan menghindar karena merasa tidak paham dunia digital.

Alih-alih khawatir berlebihan, cukup tanyakan: Kamu lagi mikirin apa?”

Percakapan langsung jauh lebih efektif daripada menebak-nebak isi pikiran anak lewat aktivitas di layar ponsel.

Tangkap momen yang bisa menjadi pelajaran

Suatu kali, Wiseman dan anak-anaknya melihat seorang pria mabuk di pertandingan sepak bola.

Alih-alih mencemooh, ia menunjukkan kepada anaknya bagaimana teman-teman pria tersebut dengan tenang dan penuh kasih membantu temannya keluar dari keramaian.

Hal itu menjadi kesempatan berharga untuk menunjukkan bahwa empati dan persaudaraan bisa muncul di tempat yang tak terduga.

Menjadi seorang pria bukan berarti harus keras dan tertutup. Mengajari anak laki-laki untuk “man up” bisa menghambat perkembangan emosinya.

Sebaliknya, ajarkan bahwa menjadi pria sejati justru ditunjukkan lewat kepedulian, empati, dan kemampuan untuk hadir bagi orang lain —terutama saat ada yang sedang terpuruk.