
MALEINSPIRE.id – Di era media sosial yang serba terbuka, banyak orang secara tidak sadar memiliki kebiasaan mengecek ulang unggahan mereka sendiri.
Perilaku ini dikenal dengan istilah self-stalking.
Meski terlihat sepele, ternyata kebiasaan ini menyimpan makna psikologis yang menarik.
Apakah sekadar bentuk refleksi diri atau justru pertanda adanya gangguan emosional?
Wajar tapi perlu disadari tujuannya
Menurut psikolog Danti Wulan Manunggal, self-stalking sebenarnya merupakan perilaku yang cukup umum di zaman sekarang.
“Self-stalking itu wajar selama tujuannya jelas dan tidak dilakukan secara berlebihan,” ujar Danti.
Misalnya, seseorang mungkin hanya ingin memastikan tampilan story-nya rapi, ingin melihat respons orang lain, atau merasa puas dengan hasil unggahan.
Namun, jika kebiasaan ini dilakukan secara terus-menerus dan terlalu bergantung pada umpan balik dari media sosial, bisa muncul dampak negatif terhadap kesehatan mental.
“Ketika seseorang mulai menggantungkan rasa percaya diri pada respons orang lain di media sosial, itu bisa mengikis rasa percaya diri yang seharusnya tumbuh dari dalam diri,” tutur dia.
Oleh sebab itu, meski self-stalking biasa terjadi, penting bagi individu untuk tetap menjaga keseimbangan dan kesadaran diri.
Bisa menandakan gangguan psikologis
Psikolog di Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, Christin Wibowo, juga menilai bahwa melihat ulang story sendiri bukanlah hal yang langsung mengarah ke gangguan psikologis.
“Kalau hanya ingin mengecek caption, memastikan tampilannya bagus, atau merasa senang karena banyak yang respons, itu masih wajar,” katanya.
Namun, Christin menekankan bahwa penting untuk menyadari batasannya.
Jika kebiasaan ini menyita banyak waktu, mengganggu aktivitas sehari-hari, atau menjadi bentuk pelarian dari kenyataan, maka patut diwaspadai.
“Misalnya sampai lupa pekerjaan atau kewajiban karena terlalu sibuk memantau story sendiri, itu bukan lagi biasa, tapi menjadi bentuk coping (mengatasi stres) yang kurang sehat,” imbuhnya.
Jika kebiasaan ini berlangsung terus-menerus dan intensitasnya tinggi, bisa saja terkait dengan kondisi psikologis tertentu.
“Bisa jadi ada indikasi gangguan kepribadian seperti borderline personality disorder (BPD), histrionic personality disorder (HPD), atau bahkan narcissistic personality disorder (NPD).”
Cara paling sederhana untuk mengevaluasi, menurut Christin, adalah melihat dampaknya terhadap rutinitas harian.
“Kalau hidup sehari-hari tetap lancar, tidak mengganggu hubungan sosial atau pekerjaan, itu masih dalam batas normal. Tapi kalau mulai kacau, bisa jadi itu pelarian dari tekanan yang belum disadari,” ucap dia.