MALEINSPIRE.id – Depresi pada pria seringkali tersembunyi di balik fasad kesibukan, rutinitas sehari-hari, dan interaksi sosial.
Menurut pakar kesehatan mental, Owen O’Kane, salah satu gejala depresi pada pria yang paling jelas namun paling terabaikan adalah kesepian.
Berbicara dalam Well Enough podcast dari The Independent yang dibawakan Emilie Lavinia, O’Kane menjelaskan bahwa kesepian jarang tercantum dalam daftar gejala klinis standar.
Baca juga: 5 Jenis Pekerjaan yang Rawan Picu Depresi, Kata Psikolog
Padahal, hal tersebut merupakan salah satu tanda utama depresi pada pria —perasaan terputus dan terisolasi.
Episode terbaru ini secara khusus membahas kesulitan pria dalam mengenali gejala kesehatan mental yang buruk dan bagaimana, serta kapan, mereka harus mencari bantuan.
“Banyak orang, terutama pria, akan berusaha terus berfungsi secara normal, sehingga sulit untuk membedakannya karena mereka tetap bekerja, bersosialisasi, minum bir, atau menonton sepak bola,” tutur O’Kane.
O’Kane menambahkan, ketika pola perilaku ini diurai, seringkali ditemukan pola pikir negatif yang kritis, serta kurangnya minat yang ekstrem —perasaan di mana aktivitas sekecil apa pun, seperti membeli kebutuhan sehari-hari, terasa membebani (overwhelming).
O’Kane menyarankan, sebagai panduan praktis, waktu yang tepat untuk mencari dukungan adalah ketika periode hari-hari yang buruk mulai melebihi hari-hari yang baik.
Di balik depresi pada pria: stigma “jantan” yang melekat

Dalam podcast tersebut, O’Kane ditemani oleh presenter TV dan pegiat kesehatan mental, Matt Johnson.1 Johnson, yang juga ambassador untuk Mind & Movember, berbicara mengenai pengalamannya sendiri melawan depresi dan kecemasan.
Johnson menggambarkan bahwa pada titik terendahnya, gejala seperti kurangnya kegembiraan, kesepian, insomnia, dan kelelahan yang ekstrem membuatnya merasa kesulitan melanjutkan aktivitas sehari-hari.
Dalam depresi pada pria, bagian tersulit menurut dia adalah berpura-pura baik-baik saja dan mengenakan “topeng” profesional.
Baca juga: Dwayne Johnson Ungkap Perjuangannya Menghadapi Depresi
“Berpura-pura (faking it ’til I made it), yaitu muncul setiap hari dan berpura-pura, adalah bagian yang sangat sulit bagi saya.”
“Energi untuk berpura-pura dan mengenakan topeng lain itu adalah masalah sebenarnya bagi saya, yaitu ketidakaslian hidup (inauthenticity of life),” kata Johnson.
Bagi Johnson, diagnosis klinis memberinya kerangka untuk memahami apa yang sedang ia alami, mengubah upaya bunuh diri yang pernah ia lakukan di tahun 2009 menjadi tindakan “membunuh bagian diri yang menelan segalanya.”

Dengan pemahaman ini, ia belajar untuk merawat bagian dirinya yang “ketakutan dan mencoba menjaganya tetap aman.”
Kedua narasumber menyayangkan stigma dalam budaya saat ini, di mana self work atau terapi sering dianggap “lembek,” dan pria didorong untuk “bersikap jantan” (man up) alih-alih mencari bantuan.
Mereka menekankan perbedaan antara kesejahteraan fungsional (kekuatan fisik) dan kesejahteraan emosional (bekerja dengan perasaan yang menantang).
Baca juga: Maskulinitas Toksik dan Bahaya di Balik Ungkapan ‘Man Up’ atau ‘Jadi Laki Dong’
O’Kane mengkritik budaya self-optimisation yang berfokus pada perbaikan cepat dengan mengorbankan penerimaan diri.
“Jika proses perbaikan datang dengan tidak mengizinkan diri saya merasa sedih, tidak mengizinkan diri saya berjuang, itu menjadi pengabaian diri, dan itu tidak akan pernah menjadi hal yang sehat,” tegas O’Kane.
Mengingat bunuh diri masih menjadi penyebab utama kematian pria di bawah usia 50 tahun di Inggris, O’Kane menutup dengan pesan penting: “Perlakukan dirimu sebagai seseorang yang penting.”