
MALEINSPIRE.id – Belakangan ini, jenggot kembali menjadi tren. Meningkatnya tren jenggot pria sebagian besar berkat kaum hipster yang suka akan hal yang dianggap memiliki jiwa seni, intelektual, dan anti-mainstream.
Ini bukan pertama kalinya jenggot menjadi tren maskulinitas yang sempat ditinggalkan zaman, lalu kembali populer. Di Yunani kuno, jenggot merupakan mode selama berabad-abad, lalu ditinggalkan di era Helenistik.
Kemudian, para pemimpin Republik Romawi awal berjenggot, tetapi dalam beberapa generasi, keturunan mereka mencukur bersih, gaya yang bertahan selama berabad-abad sebelum Kaisar Hadrian membuat rambut wajah berjenggot menjadi mode lagi.
Seperti dilansir National Geographic, jenggot kembali “hits” sepanjang Abad Pertengahan. Namun, pada abad ke-16 dan ke-17, ramai berita bahwa seorang dokter salah melaporkan bahwa jenggot adalah kotoran tubuh.
“Dengan demikian, orang-orang beranggapan jika mencukur jenggot akan membersihkan diri dan tubuh dari zat yang berpotensi membahayakan kesehatan,” tulis Khalid Elhassan.
Khalid menulisnya dalam artikel berjudul Misreported Historical Facts That Are Anything But Factual di History Collection, yang diterbitkan pada 30 Oktober 2024.
Pada abad ke-18, pria-pria di Eropa mulai mencukur jenggotnya sampai bersih. Hal itu membuat kesan wajah pria halus, awet muda, dengan raut wajah jernih sekaligus menunjukkan pikiran jernih dan terbuka.
Kemudian tibalah abad ke-19, ketika jenggot kembali menjadi mode dan tren maskulinitas pria.
Popularitas baru ini dibantu oleh pendapat medis bahwa rambut wajah atau jenggot, dikatakan baik untuk kesehatan pria.
Popularitas jenggot pada abad itu juga banyak berkaitan dengan cita-cita Ratu Victoria di Inggris tentang kejantanan dan ketangguhan.
Jenggot adalah penanda visual yang menonjol dari kejantanan, sehingga orang-orang membuat wajahnya penuh dengan rambut.
Bahkan, sejarawan medis, Alun Withey, menuliskan bahwa kebangkitan kembali jenggot tebal dan lebat di era Victoria tidak hanya berkaitan dengan fesyen.
“Para dokter mulai menganjurkan pria untuk memelihara jenggot sebagai cara menangkal penyakit,” tulis Colin Schultz kepada Smithsonian Magazine dalam artikel In the Victorian Era, Doctors Prescribed Beards to Help Keep Men Healthy.
Rata-rata pria di abad ke-19 cenderung berjenggot tebal, sangat cocok untuk menandai semangat zaman baru. Zaman yang ditandai dengan norma dan budaya yang berubah.
Popularitas rambut wajah atau jenggot yang tebal kembali dibantu oleh sebagian besar “fakta” medis yang salah dilaporkan tentang manfaat kesehatan jenggot.
Kebanyakan dokter dan Ratu Victoria ketika itu menyebut jika memelihara dan memanjangkan jenggot atau rambut-rambut wajah merupakan sarana untuk menangkal penyakit.
Faktanya, manfaat medis jenggot seperti yang dibayangkan oleh para dokter dan Ratu Victoria tidak benar-benar ada.
Revolusi Industri menyaksikan pembakaran batu bara dalam jumlah yang sangat besar, mengakibatkan tingkat polusi udara yang sangat besar. Jenggot mulai menjadi isu penangkal penyakit selama masa itu.
Ditambah lagi, teori kuman saat itu masih baru, yang telah didengar oleh banyak dokter tetapi belum sepenuhnya dipahami.
Maka bisa dimengerti bahwa ada banyak kekhawatiran dengan hal-hal buruk kecil yang mengambang di udara.
Dokter beralasan rambut wajah yang tebal dapat menyaring udara buruk dan partikel kecil yang mengambang di dalamnya.
Beberapa ahli di masa itu bahkan menyatakan pendapat medis bahwa jenggot dapat mencegah sakit tenggorokan.
Tentu saja, seperti yang diketahui di era modern saat ini, jenggot tidak memiliki kemampuan untuk menyaring udara.
Kotoran, termasuk kuman berbahaya dan polutan udara, terlalu kecil untuk terhadang dan tersaring oleh rambut wajah.
Alih-alih menyaring bakteri berbahaya, kuman dan partikel berbahaya kecil lainnya justru dapat menempel pada jenggot, yang dengan demikian meningkatkan risiko penyakit,.