Ketika Fred Perry Menjadi Simbol Fashion, Pemberontakan, dan Warisan Kelas Pekerja Inggris

Al Barr from Dropkick Murphys at Nova Rock 2014

MALEINSPIRE.id – Melihat kembali sejarah gerakan anak muda di Inggris, ada satu ikon yang selalu hadir melintasi zaman, yakni Fred Perry M12.

Polo shirt dengan logo daun laurel di dada kiri dan garis ganda pada kerah serta lengan ini telah lama menjadi simbol gaya, identitas, dan semangat pemberontakan.

Bagi banyak orang, mengenakan Fred Perry bukan sekadar soal mode, melainkan pernyataan sikap.

Namun sedikit yang tahu bahwa sang pendiri, Fred Perry, memiliki semangat anti-kemapanan yang sama dengan para subkultur yang kemudian mengadopsi mereknya —mulai dari mods, skinhead, hingga punk.

Lahir di Stockport dari keluarga kelas pekerja, Fred Perry menembus batas sosial Inggris yang kaku dan menjadi salah satu pemain tenis paling terkenal di dunia.

Kariernya dimulai ketika keluarganya pindah ke London Barat, mengikuti ayahnya yang aktif di Partai Kooperatif.

Meski meraih tiga gelar Wimbledon dan menjadi pria pertama yang menjuarai seluruh turnamen Grand Slam, Perry sering dianggap “bukan bagian dari kalangan mereka” oleh kalangan elite tenis Inggris.

Perry dikenal karena sikapnya yang keras kepala dan keinginannya menjadikan olahraga sebagai profesi, bukan sekadar hobi bagi kaum aristokrat.

Setelah konflik panjang, ia bahkan sempat dilarang bermain di lapangan milik LTA pada 1937 —sebuah bentuk pengucilan yang justru mengukuhkan citranya sebagai pemberontak sejati.

Kisah merek Fred Perry bermula dari ide sederhana: Perry membungkus pergelangan tangannya dengan kain untuk menyerap keringat —ide ini berkembang menjadi sweatband komersial pertama.

Bersama mantan pesepak bola Austria Tibby Wegner, ia kemudian menciptakan polo shirt M12 pada 1952.

Awalnya, Perry ingin menggunakan logo pipa rokok, namun Wegner menyarankan daun laurel Romawi, simbol kemenangan yang kini menjadi ikon global.

Pada 1960-an, Fred Perry menjadi seragam tak resmi bagi anak muda kelas pekerja Inggris.

Para mod dan skinhead mengenakan M12 di jalanan, ruang dansa, hingga tribun sepak bola —lambang kebanggaan sekaligus pembangkangan sosial.

Dari The Kinks, The Specials, Paul Weller, hingga Amy Winehouse, generasi demi generasi terus menghidupkan kembali semangat Fred Perry.

Meski sempat ternoda karena asosiasi dengan kelompok ekstrem kanan di Inggris pada era 1980-an, merek ini tetap mempertahankan jati dirinya sebagai simbol inklusivitas dan ekspresi individual.

Hingga akhir hayatnya, Fred Perry menyadari bahwa namanya kini lebih dikenal lewat pakaian daripada prestasi tenisnya —dan ia menerimanya dengan bangga.

Kini, di mana pun kita berada, daun laurel Fred Perry tetap berdiri tegak sebagai simbol kemenangan, identitas, dan keberanian untuk berbeda.