MALEINSPIRE.id – Memasuki tahun 2025, Kenshi Yonezu (34 tahun), musisi J-Pop yang memecahkan rekor dan trailblazer lintas generasi, memilih untuk kembali ke akar kreativitasnya.
Setelah merilis album ‘Lost Corner’ pada tahun 2024, Kenshi Yonezu merasakan kebebasan yang nyaman.
Hal itu ia manfaatkan untuk merefleksikan kembali semangat murni dan antusiasme masa kecilnya saat menciptakan musik sendirian di kamar.
Dominasi Sonic dan ekspresi baru Kenshi Yonezu

Keputusan untuk kembali ke akar tidak berarti ia mundur dari sorotan. Sebaliknya, Kenshi Yonezu mengubah ide-ide sonik barunya menjadi hit besar tahun 2025, termasuk lagu bernuansa elektronik ‘Plazma‘ dan ‘Bow And Arrow‘.
Puncak kesuksesannya datang melalui lagu ‘Iris Out‘ pada September 2025 lalu, yang berfungsi sebagai lagu tema pembuka untuk film anime Chainsaw Man – The Movie: Reze Arc.
Lagu dance-pop yang serba cepat ini menjadi fenomena, memecahkan rekor streaming Spotify Jepang pada hari perilisan dan menduduki puncak Billboard Japan Hot 100 selama sembilan minggu berturut-turut —pencapaian pribadi terbaiknya.
Kenshi Yonezu menggambarkan ‘Iris Out‘ sebagai perjalanan free-fall yang sarat keputusan.
Yonezu, yang memulai karirnya sebagai Hachi di kancah Vocaloid di awal 2010-an, telah berhasil membentuk mainstream sesuai dengan suaranya yang khas.
Ia membawa keacakan sonik dan keingintahuan komunitas online tersebut ke khalayak yang lebih luas, membuka jalan bagi artis J-Pop generasi baru seperti Ado dan YOASOBI.
Kolaborasi ikonik dan metode penciptaan
Mengenai proses kreatif untuk tie-up anime/film, Kenshi Yonezu menyatakan bahwa ia memulai dengan mengidentifikasi elemen yang beresonansi dengan kehidupannya sendiri dalam karya tersebut.
“Setelah ‘jarum’ itu tertancap, lagu tersebut sudah 80 persen selesai,” ujarnya, menekankan pentingnya langkah awal yang tepat.
Lagu penutup Reze Arc, ‘Jane Doe‘, menampilkan kolaborasi ikonik antara Yonezu (era Reiwa) dan Hikaru Utada (ikon era Heisei).
Yonezu merasa bahwa lagu penutup itu harus dipimpin oleh suara wanita, terinspirasi oleh duet seperti ‘I’ve Seen It All‘ (Björk dan Thom Yorke).
Ia memilih Utada karena kemampuannya memadukan melankolis, kerinduan, kesepian, dan kesegaran, serta memiliki dualitas kehadiran dan eterika yang diperlukan lagu tersebut.
Yonezu dihormati secara internasional karena jangkauan musiknya yang luas, dari rock untuk franchise yang hiper-kekerasan (‘Kickback‘) hingga balada kontemplatif seperti ‘Spinning Globe’ (untuk film The Boy And The Heron).
Ia mengamati bahwa musik Jepang cenderung membawa lebih banyak informasi sonik dibandingkan lagu dari negara lain, mencerminkan keragaman dan ketidakpastian J-Pop modern.
“Saya sadar bahwa saya menciptakan musik dengan kekhasan Jepang yang jelas. Itu adalah sesuatu yang saya banggakan,” tutup Yonezu.
Ia menambahkan bahwa ia merasa senang jika karyanya, terlepas dari keanehan yang dirasakan, dapat memicu minat dalam bentuk apa pun.