Post Truth, Ketika Fakta Kalah oleh Emosi dan Opini

MALEINSPIRE.id – Di era banjir informasi digital, fenomena post truth menjadi tantangan serius. Istilah ini menggambarkan kondisi ketika emosi dan opini pribadi lebih berpengaruh dibandingkan fakta objektif dalam membentuk pandangan publik.

Fenomena post truth mendapat sorotan global sejak Oxford Dictionaries menobatkannya sebagai Word of the Year pada 2016, beriringan dengan maraknya hoaks dan propaganda politik di berbagai belahan dunia.

Namun, post truth bukan sekadar berita bohong. Ia membentuk ekosistem di mana kebenaran menjadi relatif, tergeser oleh narasi yang dimainkan melalui sentuhan emosi.

Dalam kondisi ini, banyak orang lebih meyakini pernyataan influencer, akun anonim, atau tokoh populis dibandingkan media kredibel dan hasil riset.

Menurut Angga Prawadika Aji, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Airlangga, post truth tidak hanya mengaburkan batas antara fakta dan opini, tetapi juga mengancam kredibilitas ilmu pengetahuan.

Akibatnya, masyarakat tak lagi berdebat soal fakta, melainkan versi kebenaran masing-masing.

Indonesia turut merasakan dampaknya. Pada masa awal pandemi Covid-19, misinformasi mengenai vaksin menyebar luas. Mulai dari klaim vaksin yang bisa menyebabkan kelumpuhan, kebutaan, hingga isu chip untuk melacak manusia.

Misinformasi ini membuat sebagian orang enggan divaksin, meskipun belakangan terbukti tidak benar.

Fenomena serupa menunjukkan bagaimana informasi yang menyentuh emosi —rasa takut, marah, atau benci— lebih cepat dipercaya dan disebarkan ketimbang penjelasan berbasis data.

Penelitian MIT bahkan menemukan bahwa berita palsu 70 persen lebih mungkin dibagikan dibanding berita benar.

Survei Edelman Trust Barometer pada 2021 turut mengungkapkan menurunnya kepercayaan publik terhadap pemerintah, media, dan institusi resmi, sehingga masyarakat lebih cenderung mempercayai lingkaran sosial mereka sendiri, meski tanpa verifikasi.

Tak heran, bila era ini kerap disebut sebagai masa “matinya kepakaran”, ketika popularitas lebih meyakinkan daripada kredibilitas.

Di tengah situasi ini, literasi digital menjadi perisai utama. Publik perlu terbiasa menahan diri sebelum membagikan informasi, memeriksa sumber, dan memastikan kebenarannya.

Media kredibel juga harus kembali dijadikan rujukan, karena jurnalisme bekerja dengan disiplin verifikasi —mengecek fakta, mencari konfirmasi, dan menyajikan informasi berimbang.

Pemerintah pun berperan penting dalam mendorong platform digital seperti TikTok, Meta, dan X untuk memperketat moderasi konten berbahaya.

Namun, regulasi saja tidak cukup. Kemampuan masyarakat untuk berpikir kritis tetap menjadi kunci.

Di tengah gempuran emosi di media sosial, jurnalisme menemukan kembali urgensinya: bukan sekadar menyampaikan berita, melainkan membimbing publik membedakan fakta dari manipulasi.

Kepercayaan publik harus terus dipulihkan agar ruang demokrasi tetap sehat dan berbasis data.

Post truth bukan sekadar istilah akademis, melainkan realitas yang kita hadapi setiap hari —dari linimasa media sosial, grup WhatsApp keluarga, hingga perdebatan politik di televisi.

Pilihannya ada pada kita: larut dalam arus emosi atau berpegang pada fakta. Meski sederhana, fakta tetap menjadi pegangan paling kokoh di tengah dunia yang penuh “versi kebenaran”.