MALEINSPIRE.id – Fenomena konten pendek yang viral secara masif kini menciptakan kondisi unik di mana seseorang dapat merasakan ilusi kepintaran yang mendadak.
Kondisi ini, yang diperkuat oleh pengaruh filter bubble, berpotensi melahirkan keyakinan semu dan berlebihan pada diri penontonnya.
Filter bubble adalah situasi ketika algoritma platform digital secara eksklusif menyajikan informasi yang selaras dengan minat dan preferensi pengguna, secara efektif mengisolasi mereka dalam sebuah gelembung informasi yang sempit.
Konsekuensinya, pengguna minim terpapar opini yang objektif atau berbeda.
Hal ini secara signifikan dapat memperkuat bias, mengurangi wawasan kritis, mengikis nalar objektif, dan bahkan memicu polarisasi dalam masyarakat digital.
Dominasi konten pendek dan ilusi kompetensi

Krisis otoritas pengetahuan yang disebabkan oleh derasnya arus informasi, ditambah lahirnya rasa percaya diri berlebihan dari pengguna media sosial, adalah fakta yang tak terhindarkan saat ini.
Ini sebagian besar dipicu oleh dominasi format konten pendek yang melahirkan ekosistem “micro-content viewing”.
Banyak pengguna kini terbiasa melakukan “doomscrolling“, yakni kebiasaan menggulir konten pendek secara terus-menerus tanpa henti, menghabiskan waktu, bahkan tak jarang mengonsumsi konten yang minim substansi, tidak bermanfaat, atau justru memicu kecemasan.
Bagi sebagian individu, kebiasaan doomscrolling ini sulit dihentikan. Desain platform digital memang sering kali dibuat adiktif, memicu penggunanya untuk terus mengonsumsi konten.
Algoritma memperkuat pola ini melalui fenomena yang disebut “algorithmic viewing loop“, yang lebih memprioritaskan keterlibatan pengguna (berupa views, likes, dan dislikes) dibandingkan akurasi, kebenaran, atau landasan ilmiah konten.
Jika dibiarkan, batasan antara opini, hiburan, hoaks, dan konten berbasis ilmiah menjadi kabur.
Dalam ruang publik digital ini, otoritas dari seorang ahli dapat dianggap tidak lebih penting dibandingkan video 15 detik yang disajikan dengan meyakinkan.
Kebiasaan mengonsumsi konten pendek mendorong terciptanya ilusi kompetensi instan.
Masyarakat merasa telah memahami isu-isu kompleks hanya dari potongan singkat konten, tanpa perlu merujuk pada laporan mendalam, data, atau referensi ilmiah yang memadai.
Kondisi ini memunculkan pakar “jadi-jadian” yang mampu memengaruhi opini publik, bahkan berpotensi memengaruhi pengambilan keputusan pemerintah jika tidak diimbangi analisis dari pakar yang sesungguhnya.
Inilah titik bahaya: runtuhnya kepakaran dan berkuasanya viralitas tanpa kualitas.
Ilusi digital dan risiko siber

Laporan Kaspersky bertajuk “The digital illusion: millennials and the risks of online trust” (7/3/2025) menyoroti “Ilusi Digital” di kalangan generasi Milenial.
Ilusi digital terjadi ketika seseorang merasa sudah berpengetahuan, aman, pintar, atau benar, hanya berdasarkan apa yang mereka lihat di internet, meskipun hal tersebut tidak sesuai fakta.
Kepercayaan diri dan keyakinan berlebih ini merupakan bagian dari ilusi tersebut, yang juga berkorelasi dengan insiden digital seperti penipuan dan kejahatan siber.
Ilusi ini membuat seseorang abai terhadap keamanan siber dan bahkan menganggap hubungan online sama kuatnya dengan hubungan di dunia nyata, yang berujung pada terlalu mudah percaya pada dunia digital tanpa verifikasi.
Paradoksnya, Milenial —yang disebut sebagai penduduk asli digital— seringkali menyalahartikan “kebiasaan” penggunaan teknologi sehari-hari sebagai “keahlian” mendalam.
Mereka menggunakan teknologi secara intensif tetapi tidak mempelajari keamanan digital secara sistematis, sebuah celah yang rentan dieksploitasi oleh pelaku kejahatan siber.
Runtuhnya kepakaran: analisis Tom Nichols
Pemikiran Tom Nichols dalam bukunya The Death of Expertise menawarkan analisis terkini mengenai mengapa masyarakat cenderung menolak pendapat ahli dan lebih memilih konten pendek.
Nichols berpendapat bahwa internet yang terlalu terbuka, institusi pendidikan yang semakin menyerupai layanan pelanggan, dan media yang berubah menjadi hiburan tanpa henti, berkontribusi pada fenomena ini.
Akses informasi yang meningkat memicu keyakinan kesetaraan intelektual yang keliru: setiap orang merasa pendapatnya sama benarnya.
Akibatnya, diskusi berbasis pengetahuan menjadi buntu. Di era ini, setiap pendapat, bahkan yang paling tidak masuk akal, menuntut perlakuan yang sama pentingnya.
Siapa pun yang menentang pandangan ini sering dituduh elitis atau anti-demokrasi.
Saat ini, tantangan terbesar dalam ekosistem digital bukanlah sekadar memerangi hoaks, melainkan memulihkan kembali penghargaan terhadap kedalaman berpikir dan kebenaran hakiki di tengah dunia yang semakin dibentuk oleh transformasi digital.