Kenapa Bule Jarang ‘Masuk Angin’, Sedangkan Orang Indonesia Sering Terkena?

MALEINSPIRE.id – Bagi masyarakat Indonesia, istilah masuk angin sudah sangat akrab.

Baru terkena tiupan angin sebentar, banyak orang langsung menyebutnya masuk angin.

Menariknya, orang “bule” di luar negeri bisa berjalan santai dengan kaus tipis meski udara dingin menusuk, tanpa khawatir terkena “masuk angin”.

Lantas, apakah tubuh orang Indonesia memang lebih rentan, ataukah hal ini lebih dipengaruhi budaya dan kebiasaan?

Masuk angin: istilah budaya, tak dikenal dalam dunia medis

Dalam dunia medis, istilah masuk angin tidak dikenal. Gejala seperti sakit kepala, perut kembung, atau meriang umumnya dikategorikan sebagai flu ringan, gangguan pencernaan, atau kelelahan.

Artinya, “masuk angin” lebih merupakan konstruksi budaya untuk menjelaskan rasa tidak nyaman pada tubuh.

Studi dari Frontiers in Psychology (Anggoro & Jee, 2021) menunjukkan bahwa mayoritas orang Indonesia percaya masuk angin disebabkan oleh paparan angin atau udara dingin, bukan kuman, dan dianggap tidak menular.

Menariknya, keyakinan ini tetap melekat bahkan pada orang dewasa yang memahami teori kuman, membuktikan bahwa sains dan tradisi bisa berjalan berdampingan dalam pola pikir masyarakat.

Kebiasaan yang membatasi adaptasi

Sejak kecil, orang Indonesia dibiasakan menghindari angin malam dengan peringatan seperti “nanti masuk angin”.

Akibatnya, tubuh kurang mendapat kesempatan untuk beradaptasi dengan udara dingin.

Padahal, tubuh memiliki mekanisme alami seperti menggigil untuk menghasilkan panas atau menyempitkan pembuluh darah agar suhu tetap stabil. Jika sistem ini jarang terlatih, kemampuan adaptasi tubuh pun melemah.

Bukti ilmiah tentang adaptasi suhu

Studi internasional menunjukkan bahwa paparan udara dingin secara rutin membantu tubuh lebih tahan terhadap perubahan suhu.

Misalnya, orang yang tinggal di negara empat musim memiliki metabolisme lebih terlatih untuk menghasilkan panas melalui jaringan lemak cokelat.

Hal ini membuat mereka mampu bertahan dengan pakaian tipis di suhu dingin, sedangkan masyarakat tropis lebih cepat merasa kedinginan.

Faktor psikologis dan sugesti

Selain fisiologi, faktor sugesti juga berperan besar.

Karena sejak kecil terbiasa dengan istilah “masuk angin”, sedikit rasa meriang langsung dihubungkan dengan kondisi tersebut.

Sebaliknya, masyarakat di luar negeri mungkin hanya menyebutnya sebagai flu ringan tanpa melibatkan persepsi bahwa angin menjadi penyebabnya.

Cara agar tubuh lebih adaptif

Agar tubuh tidak mudah merasa “masuk angin”, beberapa langkah sederhana bisa dilakukan:

  • Biasakan paparan ringan: beri kesempatan tubuh terkena udara malam atau kipas angin secara bertahap.
  • Olahraga teratur: aktivitas fisik memperkuat metabolisme dan daya tahan tubuh.
  • Pola hidup sehat: cukup tidur, konsumsi makanan bergizi, serta penuhi kebutuhan vitamin.
  • Kelola stres: kesehatan mental turut memengaruhi kondisi fisik.
  • Dukungan herbal: misalnya wedang jahe yang dapat menghangatkan tubuh.

Fenomena masuk angin tidak berarti tubuh orang Indonesia lebih lemah dibanding orang luar.

Istilah ini lahir dari budaya, kebiasaan, serta sugesti yang memengaruhi persepsi terhadap kesehatan.

Dengan pola hidup sehat dan membiarkan tubuh beradaptasi, kita bisa lebih tahan menghadapi perubahan suhu tanpa harus selalu takut pada angin.