Mungkinkah Titan, Satelit Saturnus Dihuni Manusia di Masa Depan?

MALEINSPIRE.id – Gagasan manusia untuk dapat tinggal di planet lain di luar Bumi menjadi salah satu topik besar yang masih terus digadang-gadang.

Tengok saja betapa besarnya ambisi Elon Musk agar manusia bisa mengkoloni Mars, “Planet Merah” yang posisinya tidak jauh dari Bumi.

Adapun anggapan yang menyebutkan bahwa Titan, satelit atau Bulan dari Saturnus berpotensi untuk menjadi “rumah” baru bagi umat manusia karena permukaannya memiliki lautan metana. Benarkah demikian?

Mengingat posisi Titan yang berada di bagian terluar sistem Tata Surya kita –di mana intensitas paparan sinar matahari berkurang dibandingkan di Bumi, tentu hal ini menjadi tantangan besar.

Ditambah lagi, suhu ekstrem yang berada di satelit tersebut dapat mencapai -179 derajat Celsius.

Sebuah studi baru yang dipimpin oleh Catherine Neish, ahli astrobiologi dari Western University menunjukkan bahwa bagian bawah permukaan di Titan yang disebut-sebut menyimpan lautan, tidak layak untuk kehidupan manusia.

“Sayangnya, kita harus mulai sedikit mengurangi harapan soal kemungkinan ada kehidupan di bagian terluar Tata Surya,” ujar Neish, sebagaimana dikutip laman Astrobiology.

Selama ini, para ilmuwan sangat tertarik dengan bulan es seperti Titan, karena diyakini menyimpan lautan besar di bawah permukaannya.

Titan sendiri diperkirakan memiliki laut bawah tanah yang volumenya 12 kali lebih besar dari seluruh lautan di Bumi.

Air memang penting untuk kehidupan, tapi menurut Neish, air saja tidak cukup. Kehidupan juga membutuhkan karbon dan unsur organik lainnya.

Mengapa Titan tidak layak huni?

Dalam studi yang dipublikasikan di Astrobiology, Neish dan timnya menghitung seberapa banyak senyawa organik dari permukaan Titan yang bisa masuk ke laut bawah tanahnya.

Mereka menggunakan data tumbukan komet selama miliaran tahun.

Tumbukan itu mencairkan es dan menciptakan genangan air yang bercampur dengan senyawa organik. Campuran ini kemudian tenggelam ke bawah permukaan karena lebih berat dari es.

Namun, hasilnya tidak sesuai harapan peneliti.

Diperkirakan, hanya 7.500 kg glisin per tahun yang masuk ke lautan —setara berat satu gajah jantan. Jumlah itu terlalu kecil untuk mendukung kehidupan di lautan sebesar itu.

“Selama ini orang berpikir kalau ada air, pasti bisa ada kehidupan. Tapi mereka lupa bahwa kehidupan juga membutuhkan karbon,” kata Neish.

Hal  yang lebih mengejutkan, Titan adalah bulan es yang paling kaya senyawa organik.

Jika di Titan saja tidak ada jumlah karbon yang memadai untuk kehidupan, kemungkinan bulan lain seperti Europa, Ganymede, atau Enceladus —yang jumlah karbonnya lebih sedikit— juga tidak layak huni.

Masih ada harapan

Meski kondisi di laut bawah permukaannya mengecewakan, Neish tetap berharap pada permukaan Titan.

Ia terlibat dalam proyek NASA bernama Dragonfly, yang akan mengirim drone robotik ke Titan pada 2028 nanti.

Tujuan dari misi tersebut adalah mempelajari reaksi kimia prabiotik, yaitu reaksi awal yang bisa menjelaskan bagaimana kehidupan terbentuk.

Karena atmosfer Titan sangat tebal dan kaya senyawa organik, pengamatan dari teleskop saja tidak signifikan. Drone robotik itu harus mendarat dan mengambil sampel langsung dari permukaannya.

Misi Dragonfly akan mencari lokasi di mana air dan senyawa organik bertemu akibat tumbukan komet. Di situlah kemungkinan besar terjadi reaksi kimia penting.

“Walaupun lautan bawah tanahnya tidak bisa dihuni, reaksi-reaksi menarik bisa saja terjadi di permukaannya,” tutur Neish.

“Dan itu bisa memberi kita petunjuk soal bagaimana kehidupan bisa terbentuk —di Titan, atau bahkan di planet lain.”