Maskulinitas Toksik dan Bahaya di Balik Ungkapan ‘Man Up’ atau ‘Jadi Laki Dong’

MALEINSPIRE.id – Sejak kecil, banyak laki-laki diajarkan bahwa menunjukkan emosi dan menjadi rentan itu salah.

Di dalam masyarakat, pria yang menangis dipandang lemah. Curhat dianggap memalukan, dan menunjukkan perasaan akan dianggap bahwa kita bukan pria sejati alias “tidak jantan”.

Pandangan seperti ini tak hanya keliru, tetapi juga sangat berbahaya, seperti dilansir The Mix.

Penulis Michael Handrick berbicara dengan organisasi CALM (Campaign Against Living Miserably) untuk membahas apa itu maskulinitas toksik dan mengapa ungkapan seperti man up (jadi laki dong) sangat merugikan.

Apa itu maskulinitas toksik?

Istilah maskulinitas toksik merujuk pada pola pikir dan perilaku yang lahir dari standar lama tentang bagaimana seharusnya seorang pria bersikap —harus kuat, tidak cengeng, selalu dominan, dan tidak boleh menunjukkan emosi.

Di permukaan, ini mungkin terlihat sebagai bentuk ketangguhan. Namun pada kenyataannya, menyembunyikan perasaan bisa berdampak langsung pada kesehatan mental dan fisik, seperti:

  • Kecemasan
  • Depresi
  • Stres
  • Kekerasan
  • Ketergantungan alkohol atau narkoba

Contoh maskulinitas toksik

Maskulinitas toksik bukan berarti maskulinitas itu buruk. Apa yang jadi masalah adalah ketika sifat-sifat “kejantanan” dipaksakan secara sempit, dan digunakan untuk menekan ekspresi emosional, menolak kelemahan, atau menolak bantuan.

Contoh perilaku maskulinitas toksik:

  • Menekan perasaan sendiri demi terlihat kuat
  • Enggan bicara soal kesehatan mental
  • Merasa harus selalu menguasai situasi
  • Menghindari hal-hal yang dianggap feminin seperti empati, kasih sayang, atau kerentanan

Kaitan antara maskulinitas toksik dengan kesehatan mental

Organisasi Campaign Against Living Miserably (CALM), yang berfokus pada pencegahan bunuh diri pada pria, mencatat bahwa sebanyak 84 persen pria tidak terbuka soal perasaannya, dan sekitar 2 dari 3 pria berusia 18–24 tahun menyembunyikan emosi mereka.

Beberapa data yang mengkhawatirkan mencakup:

  • Antara tahun 2016-2018, angka bunuh diri pada pria naik 8,2 persen meski kini jumlahnya menurun
  • Sebanyak 3 dari 4 kasus bunuh diri dilakukan oleh pria
  • Setiap menit, satu pria di dunia mengakhiri hidupnya
  • Setidaknya 6 juta pria menderita gangguan depresi (data dari National Institute of Mental Health)

Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan, jika kita tidaklah sendirian. Apa pun yang sedang kita rasakan, bantuan itu ada dan dapat diakses.

Namun, konsep maskulinitas toksik justru mendorong sebaliknya —menutup diri, menyembunyikan perasaan, dan mengabaikan bantuan. Itulah kenapa disebut maskulinitas yang “toksik”.

Mengapa ungkapan ‘man up‘ itu berbahaya?

Ungkapan man up sering terdengar dalam berbagai situasi:

  • Gagal dalam hubungan? Man up. Jadi laki dong.
  • Merasa kewalahan di kerjaan? Man up. Jangan lembek, dong.
  • Sedih karena masalah pribadi? Man up bro. Masa gitu aja down?

Masalahnya, kalimat-kalimat ini tidak memberi ruang bagi pria untuk memproses emosinya. Sebaliknya, mereka didorong untuk menekan perasaan dan berpura-pura semuanya baik-baik saja.

Pria diajarkan bahwa menangis, curhat, atau meminta bantuan adalah tanda kelemahan.

Kita tumbuh dengan pikiran bahwa masalah harus dihadapi sendiri, tidak pernah diajarkan cara mengelola perasaan, dan itu terbawa sampai dewasa.

Tidak ada cara optimal untuk menjadi “pria sejati” di mata masyarakat

Budaya “man up” menguatkan stereotip tentang pria sejati, yang harus menjadi penyedia, pemimpin, kuat, tidak boleh lemah. Jika tidak sesuai ekspektasi masyarakat, siap-siap dicemooh atau dianggap “bukan pria sejati.”

Padahal faktanya, tidak ada satu cara mutlak untuk menjadi pria sejati. Setiap individu berbeda, namun karena tekanan sosial itu masih kuat, banyak pria akhirnya kesulitan menghadapi masalah hidup mereka.

Ungkapan “man up” membuat pria seolah-olah hanya alat pencari uang dan penopang keluarga, tapi tidak boleh memiliki masalahnya sendiri.

Bahkan saat pria mencoba jujur soal stres atau perasaannya, kata “man up” sering muncul sebagai bentuk penghinaan karena berani berterus terang (open up).

Budaya man up harus dihilangkan

Langkah pertama untuk melawan maskulinitas toksik adalah mengubah cara pandang kita. Membuka diri bukan tanda kelemahan, tapi keberanian.

Mengakui bahwa kita sedang kesulitan adalah langkah pertama untuk bertumbuh. Mungkin terasa berat, tapi itu langkah penting.

Hal-hal sederhana yang bisa menjadi awal perubahan:

  • Konsultasi ke psikolog atau dokter
  • Hubungi layanan bantuan khusus pria
  • Tulis perasaan dalam jurnal
  • Cerita ke orang yang kita percaya
  • Open up alias bicaralah, bukan man up lalu menyimpan semuanya sendiri

Kita bisa mulai dari hal kecil, seperti berhenti menertawakan pria yang menangis, hingga tidak lagi mengucapkan “man up” saat seorang pria sedang kesulitan.

Karena pada akhirnya, menjadi pria yang jujur tentang perasaan jauh lebih penting daripada mengejar standar maskulinitas yang sempit dan merusak.